(sebuah ulasan) Mahar untuk Maharani,
March 07, 2018
Konsep
judul provokatif dalam sebuah karya itu seperti memberi candu. Membuat
ketagihan lagi dan lagi. Sayangnya, Bang Azhar Nurun Ala ini ternyata memilih
judulnya terlalu pas, satu kata untuk membetot: Mahar. (semoga bukan
aku saja yang begini) Entah bagaimana akhir-akhir ini hati, pikiran dan
kemauan seorang aku sedang punya preferensi perkara begini.
Adalah Salman,
seorang calon sarjana Biologi Universitas Indonesia yang sedang stuck pada
Bab 3 proposal penelitiannya. Seolah mengharap cercah cahaya dari kebuntuan
tugas akhir, sekaligus menepis eratnya peluk pertanyaan kapan wisuda
dari teman-teman yang sudah duluan, ia memutuskan pulang, menemui Uminya di
Sukatani, Lampung Tengah. Beruntung, kerlip cahaya itu sudah menanti,
membukakan pintu sekaligus menghadiahinya dengan tamparan di detik pertama.
Kerlip cahaya yang berubah menjadi kejora bernama Maharani. Sesosok teman masa
kecil, yang esok hari akan membuatnya mampu mendobrak himpitan kebuntuan skripsi
pun membuatnya mantap berhijrah, menjadi Salman baru, Salman yang sudah
memantaskan diri.
Bagai Srikandi
diantara pandawa lima, Maharani tumbuh menjadi putri kesayangan. Tabiat,
pengalaman, pendidikan dan seluruh trackrecord nya yang jauh lebih dari
kata mumpuni, membuat Pak Umar berdiri di garis kemantapan berbeda dari
Maharani ihwal calon suami. Dimas, anggota trio masa kecil Salman - Maharani,
adalah harapan yang dipintal Pak Umar, membuat Salman berposisi sulit. Terlebih
dengan pesona lulusan ITB 3,5 tahun, pekerjaan mapan dan mobil sendiri, Dimas berada di puncak kriteria.
Kini, bagi Salman, Dimas tidak hanya menjadi villain atas kematian Budi –ayam
kesayangannya–, tetapi juga terancam menjadi villain dalam usaha
menghalalkan Maharani. Berbekal dukungan dari Bu Tuti –Ibunya–,
Maharani mencoba mencari tameng untuk bertahan. Selipan sabda Rasul “….tidak dinikahi seorang gadis kecuali atas izinnya,” berhasil
menyejajarkan kondisi, setidaknya Salman diberi kesempatan setahun lamanya
untuk mengusahakan Mahar untuk Maharani. Satu tahun yang akan membuat
semuanya berbeda.
Juli, satu
bulan sebelum kesempatan Salman kadaluarsa, Maharani menemuinya. Sang kejora
dan energi cahanya yang membuatnya berhasil mencapai mulut kebuntuan itu,
mengabarkan bahwa hentak kakinya yang tinggal melangkah keluar itu harus
terhenti. Keputusannya menceburkan diri sebagai petani kangkung dan
kegagalannya di kesempatan pertama, cukup menjadi tolok ukur bagi Pak Umar
untuk memastikan Salman sudah kalah. Salman mengkerut. Optimisme yang ia
tumbuhkan dari ilmu bargaining position, –ilmu awam yang ia dapatkan dari
seorang malaikat penolong berwujud teman SMA bernama Ajran– ternyata tidak
cukup punya kesempatan untuk dibuktikan berjaya di tanam kangkung kesempatan
kedua. Pak Umar sudah menentukan pilihannya. Dimas digadang-gadang menjadi
pilihan yang pantas untuk Maharani.
Hari pertama
memulai masa berjayanya Salman sebagai pebisnis kangkung bertepatan dengan hari
lamaran Maharani. Atau mungkin, hari ini juga hari berjayanya atas Maharani? Diantara
kesibukannya memastikan kangkungnya laris manis dengan sistem pemasaran
agribisnis yang baru, Salman menginjak harapan atas Maharani lagi. Dimas, sang vallein
sekaligus sang pemenang itu memutuskan banting setir. Mahar yang ia
siapkan ternyata bukan untuk Maharani, tetapi teruntuk sang cinta pertama. Salman
tergesa-gesa merekonstruksi kembali rencananya memberi mahar untuk
Maharani. Ia bergerak cepat ke rumah Maharani secepat bahagia yang menyerbu
hatinya, untuk sekedar menerima kenyataan bahwa: Maharani sudah menerima mahar
nya. Mahar dari seorang imajiner. Vallein itu ternyata sang
malaikat penolong, bukan Dimas.
Mahar
untuk Maharani versi subjektifitas seorang aku. Novel ini dikemas dengan ringan dari
segi bahasa maupun runut peristiwanya. Jalan ceritanya seolah dicomot dari
kejadian yang dekat dengan sehari-hari. Masalah klasik dalam pengerjaan
skripsi; kalimat berbau memandang sebelah mata pada pekerjaan seorang petani;
pembandingan dengan pencapaian orang lain; patah hati seperti yang dialami
Salman; menentukan pilihan; kerja keras dan buah manisnya yang disesap Ajran;
dan lain sebagainya.
Sekuel
cinta ala Mahar untuk Maharani disusun dengan menggemaskan.
Loncatan ending yang terbayangkan bubar jalan. Tidak ada Maharani untuk
Salman, tidak ada Maharani untuk Dimas, tidak juga dengan Nabila dan Salman. Bayanganku
yang cocok cuma satu, pernikahan si anak perusahaan sawit dengan si lulusan
terbaik putri Koswara. Poin pentingnya, perjuangan cinta di Mahar untuk
Maharani disuratkan dengan usaha-usaha baik. Keputusan berhijrah, menghijrahkan
cinta itu sendiri. Seperti sematan upaya memantaskan diri melalui pondok
quran, yang secara tidak sengaja terjadi berbarengan antara si mantan
ketua kostrat dan si mantan ketua sosma, Salman dan Nabila. Menyentuh.
Hal
yang seringkali luput dari perhatian seperti misalnya es cincau –yang masih
belum didiversifikasi menjadi cappuccino cincau–, atau ilmu melihat pasar
saat akan berjualan komoditas pertanian dimunculkan pula di Mahar untuk Maharani dengan penyisipan yang
tepat. Menarik. Endingnya, meski membuatku kecewa, karena aku termasuk
tim yang berpihak pada tokoh utama mencapai goalnya di akhir cerita, seolah
memantik pemahaman bahwa setelah kerja keras, hasil masih bisa saja tidak
sesuai dengan harapan kita. Karena ketika kita merencanakan, rencana itu akan
bersinggungan dengan kehendak-Nya, yangmana Dia Allah, lebih mengetahui segala
sesuatu dari kita. Mengingatkan pada suatu nasihat, Allah tidak memberi yang
kita rencanakan bukan berati tidak
sayang, mungkin ada yang lebih baik, atau ditujukan untuk menjauhkan mudharat
dari kita. Nah, rencana yang lebih baik untuk Salman, mungkin akan
dijelaskan di serial keduanya oleh Bang Azhar.
Di
lain sisi, Mahar untuk Maharani ini juga memberikan semangat
untuk sesegera mungkin menyelesaikan apa yang sudah kita mulai, sebelum
semuanya menjadi Rencana memberi yang terlewat. Kuliah yang ditempuh 7
semester jangan sampai terpatahkan karena satu semester saja untuk skripsi. Kebuntuan
dan segala tethek bengek halangan menyelesaikan skripsi adalah suatu
proses yang hanya perlu dijalani dengan ikhlas. Mengeluh itu pasti karena masih
berlabel manusia, tetapi jangan sampai jatuh dan berhenti berskripsi. Mengurung
diri di kamar bukan solusi, karena sejatinya yang kita butuhkan adalah teman
berdiskusi. Saat penat skripsi menyerang, yuk lah, jalan-jalan dulu,
refresh otak. Turunkan gengsi, temuin teman-teman yang sekiranya membantu, dan,
jangan mudah patah hanya karena proposalmu dicoreti. Sungguh, coretan itu akan
menempamu dan menjadikan apa yang sudah kamu proposalkan menjadi bermanfaat.
Terima
kasih, Mahar untuk Maharani sudah membuatku terpantik semangatnya
lagi untuk merawat kedelaiku tersayang. Siapa tahu, cuma siapa tahu,
sedang ada yang berjuang untuk memberikan mahar untukku, eh.
Berbicara
tentang Ajran, si malaikat penolong Salman merangkap vallein nya itu,
sesungguhnya ada banyak pelajaran yang bisa dipetik. Akan tetapi, bagian ini
membuatku merasa wagu saat membaca Mahar untuk Maharani.
Ajran menjadi tokoh ganda, di samping Salaman yang memiliki bab deskripsi berdiri sendiri di
awalnya, tidak serta merta membaur seperti Dimas ataupun Nabila. Di luar semua
itu, Ajran membawakan pengalaman yang selama ini tidak banyak diakui oleh
masyarakat. Bahwa seorang petani juga bisa berdasi, bahwa mahasiswa pertanian
tidak melulu tentang cangkul dan bajak. Tidak. Mahasiswa pertanian ada untuk
membantu mengimplementasikan teknologi sehingga dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat luas. Jangan salah, bahkan Bung Karno sudah sejak dulu menggaungkan
soal pangan adalah soal hidup matinya bangsa.
Perihal
kegagalan Salman di periode tanam kangkungnya yang pertama, itu adalah usaha
yang bagus untuk mengkonstruksi ulang pemahaman kita. Kesalahan Salman adalah
kesalahan sebagian besar petani kita. Pokok tahu soal di sawah dia berangkat.
Padahal, di sisi lain pasar adalah hal utama yang mesti kita kuasai terlebih
dahulu. Kenapa Salman merugi? Karena dia membuat tanamannya panen dalam satu
kali waktu, akibatnya apa? Akibat yang pasti adalah penumpukan barang, penawaran
yang meningkat akan menyebabkan harga turun. Rugi. Sayangnya masih banyak
petani yang belum memahami ini, bagus lah Bang Azhar ini menjelaskan disini,
semoga yang membaca Mahar untuk Maharani dapat mengambil hikmahnya,
kemudian berbaik hati menyampaikan kepada petani siapapun yang dikenalnya
tentang ilmu ini. Amin, ya.
Lewat
Ajran pula, satu suntikan pemahaman tersampaikan. Bahwa: usaha terus menerus
secara konsisten akan bertransformasi seperti tangga-tangga yang tertiti untuk
mencapai puncak tertinggi. Dibarengi dengan usaha mendekatkan diri pada Illahi
Rabbi dan ridho orang tua, Ajran membuktikan quantum Allah. Dari bukan
siapa-siapa menjadi apa-apa. Bayangkan, Ajran, dari anak seorang petani biasa
menjadi CEO sebuah perusahaan? Luar biasa kan? Kalau di pepatah jawa disebutkan
tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati. Bonusnya lagi, Ajran yang dari
awal istiqomah tidak merisaukan perihal jodoh, benar mendapatkan perempuan
shalihah yang akan siap mendukung perjuangannya, Maharani. So deep.
Terakhir,
dari sang kejora, Maharani, aku tidak akan mendeskripsikan apapun, hanya akan
mengutip kalimat Bang Azhar di dalam novel, ini bagian yang mengena, langsung
menohok. Kurang lebih begini: “menuruti keputusan Ayah, meski awalnya sulit
dimengerti dan diterima, selalu membawa kebaikan. Tidak ada motif lain yang
mendorong ayah dalam mengambil keputusan itu kecuali cinta yang teramat besar
untuk anaknya.”
Semoga,
semangat positif dari Mahar untuk Maharani tetap berpendar di
dalam aku, kamu atau siapapun yang membacanya. ((Amin!))
Teruntuk yang sudah mendahuluiku untuk mendaratkan novel ini dengan elok di Bogor, –27 Desember 2017–, Terima kasih. Alangkah ini adalah hadiah paling manis, paling bikin terenyuh. Semoga nantinya aku tidak hanya konsumsi novel orang lain, tetapi juga bisa produksi novel sendiri, ya. (Amin!)
1 comments